"Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri" Ir.Sukarno
Poster Anti Korupsi

Pengertian dan Definisi Korupsi

KORUPSI dari berbagai sudut pandang secara Etimologi, secara Politis, dan lainnya, Maka Korupsi bisa dijelaskan seperti berikut:

Baca Selengkapnya

Pelajar Kolonial Belanda

Mahasiswa Indonesia Pertama di Luar Negeri

Siapa orang Indonesia per tama yang belajar ke luar negeri? Sejauh yang termaktub dalam dokumen sejarah, Jawabannya adalah empat pemuda Ambon:

Baca Selengkapnya

Daftar Hakim Korup

Daftar Hakim Korup Juni 2011

Ketika penegak hukum yang diandalkan mampu berlaku jujur dan tegas melawan korupsi justru terlibat kasus dan skandal suap. Berikut daftar hakim-hakim korup dari beberapa sumber:

Baca Selengkapnya


2 Presiden Indonesia yang Terlupakan

27 Agustus 2011 | 1 comments

Inilah catatan sejarah Politik bangsa Indonesia, setelah mencari dan menelusuri serta mendokumentasikan dari berbagai sumber mengenai 2 nama Presiden Republik Indonesia yang sosoknya terlupakan dalam buku sejarah umum. Sebenarnya hingga saat ini, republik Indonesia sudah memiliki 8 orang presiden, Selain : Soekarno, Soeharto, B.J. Habibie, Alm. K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan kini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Lalu, siapa dua orang yang namanya terlupakan setelah berjasa telah memimpin Indonesia ??? Walaupun masa kepemimpinanya hanya sebentar saja.

Dua tokoh yang terlewatkan itu adalah Sjafruddin Prawiranegara dan Mr. Assaat.
Sjafruddin Prawiranegara adalah Pemimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) ketika Presiden Soekarno dan Moh. Hatta ditangkap Belanda pada awal Agresi Militer II, sedangkan Mr. Assaat adalah Presiden RI saat Republik ini menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat (1949).

Berikut adalah sekilas Informasi mengenai beliau-beliau ini dan kiprahnya dalam catatan Politik Indonesia.

Sjafrudin Prawiranegara sebagai presiden ke-2 (8 bulan pemerintahan)

Sjafrudin Prawiranegara ~ mantan Presiden RI darurat
Pada tanggal 19 Desember 1948, saat Belanda melakukan Agresi Militer II dengan menyerang dan menguasai ibu kota RI saat itu di Yogyakarta, mereka berhasil menangkap dan menahan Presiden Soekarno, Moh. Hatta, serta para pemimpin Indonesia lainnya untuk kemudian diasingkan ke Pulau Bangka. Kabar penangkapan terhadap Soekarno dan para pemimpin Indonesia itu terdengar oleh Sjafrudin Prawiranegara yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran dan sedang berada di Bukittinggi, Sumatra Barat.

Untuk mengisi kekosongan kekuasaan, Sjafrudin mengusulkan dibentuknya pemerintahan darurat untuk meneruskan pemerintah RI. Padahal, saat itu Soekarno - Hatta mengirimkan telegram berbunyi, "Kami, Presiden Republik Indonesia memberitakan bahwa pada hari Minggu tanggal 19 Desember 1948 djam 6 pagi Belanda telah mulai serangannja atas Iboe Kota Jogjakarta. Djika dalam keadaan pemerintah tidak dapat mendjalankan kewajibannja lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran RI untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatra".

Namun saat itu telegram tersebut tidak sampai ke Bukittinggi. Meski demikian, ternyata pada saat bersamaan Sjafruddin Prawiranegara telah mengambil inisiatif yang senada. Dalam rapat di sebuah rumah dekat Ngarai Sianok Bukittinggi, 19 Desember 1948, ia mengusulkan pembentukan suatu pemerintah darurat (emergency government).
Gubernur Sumatra Mr. T.M. Hasan menyetujui usul itu "demi menyelamatkan Negara Republik Indonesia yang berada dalam bahaya, artinya kekosongan kepala pemerintahan, yang menjadi syarat internasional untuk diakui sebagai negara".

Pada 22 Desember 1948, di Halaban, sekitar 15 km dari Payakumbuh, PDRI "diproklamasikan". Sjafruddin duduk sebagai ketua/presiden merangkap Menteri Pertahanan, Penerangan, dan Luar Negeri, ad. interim. Kabinet-nya dibantu Mr. T.M. Hasan, Mr. S.M. Rasjid, Mr. Lukman Hakim, Ir. Mananti Sitompul, Ir. Indracahya, dan Marjono Danubroto. Adapun Jenderal Sudirman tetap sebagai Panglima Besar Angkatan Perang.

Sjafruddin menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 13 Juli 1949 di Yogyakarta. Dengan demikian, berakhirlah riwayat PDRI yang selama kurang lebih delapan bulan melanjutkan eksistensi Republik Indonesia.


Mr.Assaat sebagai Presiden ke-3 (9 bulan pemerintahan)

Mr. Assat ~ Ex Presiden RI serikat
Dalam perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang ditandatangani di Belanda, 27 Desember 1949 diputuskan bahwa Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS).

RIS terdiri dari 16 negara bagian, salah satunya adalah Republik Indonesia. Negara bagian lainnya seperti Negara Pasundan, Negara Indonesia Timur, dan lain-lain. Karena Soekarno dan Moh. Hatta telah ditetapkan menjadi Presiden dan Perdana Menteri RIS, maka berarti terjadi kekosongan pimpinan pada Republik Indonesia.

Assaat adalah Pemangku Sementara Jabatan Presiden RI. Peran Assaat sangat penting. Kalau tidak ada RI saat itu, berarti ada kekosongan dalam sejarah Indonesia bahwa RI pernah menghilang dan kemudian muncul lagi. Namun, dengan mengakui keberadaan RI dalam RIS yang hanya beberapa bulan, tampak bahwa sejarah Republik Indonesia sejak tahun 1945 tidak pernah terputus sampai kini. Kita ketahui bahwa kemudian RIS melebur menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 15 Agustus 1950. Itu berarti, Assaat pernah memangku jabatan Presiden RI sekitar sembilan bulan.

Sumber:
Beberapa Blog, dan
www[dot]kaskus[dot]us/showthread[dot]php?t=7952829

Komando Pengerahan Militer Tragedi 98

8 Agustus 2011 | 0 comments

Dibalik Perintah Pengerahan Militer pada Tragedi Mei 1998
Komando Militer pada Tragedi Mei 1998 Versi Mayjen (purn) Kivlan Zein
Rangkuman Catatan Politik Indonesia mengenai Kronologis Tragedi Mei 1998 menurut versi Mayjen(purn) Kivlan Zein yang dihimpun dari beberapa sumber.

Pengerahan Militer pada Tragedi 98

Mayjen (purn) Kivlan Zein yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Staf Kostrad mendapatkan tugas untuk menghimpun kekuatan militer di Jakarta pada pertengahan Mei 1998 atas perintah langsung Letjen TNI Prabowo Subianto. Dimana tugas utama dari seorang Kepala Staf Kostrad yaitu mengurusi logistik, mengurusi intelijen, penyiapan pasukan dan perintah komando, untuk itulah Prabowo secara langsung memberi tugas kepada Kivlan Zein untuk mengamankan monas, Istana, dan kediaman BJ Habibie di kawasan Patra Kuningan, Jakarta Selata.

Upaya pengamanan ini disanggah oleh Kivlan karena hal itu bukanlah sebagai upaya kudeta dari Prabowo Subianto untuk menekan BJ Habibie dimana seperti yang disalahartikan dan ditulis oleh Habibie di dalam buku 'Detik-detik yang Menentukan'.

Pada Mei 1998, terjadi perpecahan komando militer di tubuh ABRI (TNI pada masa itu) yaitu antara Wiranto dan Prabowo Subianto mengenai situasi kedaan darurat dan prosedur pengamanan. Wiranto sebagai Pangab (Panglima Angkatan Bersenjata) melarang Pengerahan Pasukan di Jakarta pada tanggal 14 Mei 1998 yang disampaikan melalui Kasum ABRI, Letjen Fachrurazi untuk diberitahukan kepada Kepala Staf Kostrad

Mayjen (purn) Kivlan Zein. Pada tanggal 14 Mei 1998 itu, kata Kivlan, Wiranto malah pergi meresmikan PPRC di Malang. "Seharusnya dalam keadaan kacau, tak perlu Pangab ke sana untuk meresmikan PPRC. Cukup Kasum. Sudah saya sarankan, sudah saya tulis. Keadaan kacau, jangan tinggalkan Jakarta," ujar Kivlan. Intinya tragedi Mei 98 adalah dosa-dosanya Wiranto yang waktu itu menjabat Pangab dan Menhankam.

Berikut berita terkait Perintah komando militer pada tragedi 1998 di jakarta, artikel dari
detiknews: Rabu, 04/10/2006 Arfi Bambani Amri

Jakarta - Pasukan Kostrad ditebar di sekitar Monas, Istana, dan kediaman BJ Habibie di kawasan Patra Kuningan, Jakarta Selatan, pada Mei 1998. Apakah Pangkostrad saat itu Letjen TNI Prabowo Subianto akan melakukan kudeta terhadap Presiden Habibie? Bagi Mayjen (Purn) Kivlan Zein, pasukan itu bukan untuk kudeta. Kivlan Zein menceritakan panjang lebar mengenai pengerahan pasukan Kostrad saat detik-detik kejatuhan Presiden Soeharto dan pengangkatan Habibie sebagai presiden saat menjadi pembicara diskusi 'Kontroversi Mei 98' di Institute for Policy Studies, di Jalan Penjernihan IV No 8, Jakarta, pukul 14-18, Selasa (3/10/2006) kemarin.

Diskusi ini digelar secara tidak langsung untuk menanggapi buku 'Detik-detik yang Menentukan' tulisan Habibie yang menghebohkan. Pengerahan pasukan Kostrad ini memang inisiatif Prabowo. "Sejak ada kerusuhan tanggal 12 Mei 1998, peristiwa Trisakti, Prabowo berpikir situasi sudah membahayakan, karena sudah terjadi revolusi. Prabowo memanggil saya. Saya saat itu sedang terkenal flu dan datanglah saya ke Kostrad jam 12 malam. Siapkan pasukan, kata Prabowo," ujar Kivlan.

Prabowo saat itu memerintah Kivlan, karena dia merupakan anak buah Prabowo. Kivlan menjabat sebagai Kepala Staf Kostrad (Kas Kostrad) berpangkat Mayjen. "Urusan logistik, urusan intelijen, penyiapan pasukan dan perintah komando adalah memang urusan kepala staf. Saya pun siapkan rencana operasi," kata dia. Saat itu, perintah operasi sejak Pemilu 1997 hingga diadakannya SU MPR belum dicabut. Karena itu, semua pasukan yang berada di Kodam tetap disiagakan. "Polisi di-BKO-kan ke Kodam, Marinir, Paskhas di BKO-kan. Jadi, sudah tak perlu lagi izin dari Mabes ABRI. Kodam yang minta," jelas Kivlan. Kostrad dapat pasukan dari mana? Sangat banyak. Ada dari Makostrad, Yon 328, Yon Arnudri Serpong, Yon 305, dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. "Pasukan masih kurang, kita minta datangkan dari Makassar. Saya sendiri yang datang untuk meyakinkan. Kita tidak dikasih Hercules oleh Mabes ABRI. Akhirnya, Kostrad carter Mandala dan Garuda untuk mendatangkan pasukan," kata dia.

Wiranto Larang Pengerahan Pasukan Tanggal 14 Mei 1998, Kivlan mengaku ditelepon Kasum ABRI, Letjen Fachrurazi. "Eh,jangan kau kerahkan pasukan. Ini permintaan Pangab (Wiranto). Keadaan kacau, Jakarta bakar-bakaran," kata Fachrurazi kepada Kivlan. Namun, Kivlan tetap pantang mundur, sebab Kodam Jaya minta penambahan pasukan. Pada tanggal 14 Mei 1998 itu, kata Kivlan, Wiranto malah pergi meresmikan PPRC di Malang. "Seharusnya dalam keadaan kacau, tak perlu Pangab ke sana untuk meresmikan PPRC. Cukup Kasum. Sudah saya sarankan, sudah saya tulis. Keadaan kacau, jangan tinggalkan Jakarta," ujar Kivlan. Berdasarkan strategi perang, kata Kivlan, untuk mengendalikan keadaan dan mempengaruhi keadaan, pertama yang paling penting adalah kehadiran komandan di tengah pasukan. Faktor penting kedua adalah dukungan logistik. "Mengapa kok komandan malah meninggalkan Jakarta?" tanya Kivlan. (asy/nrl)

About Us

18 Juli 2011 | 0 comments

Blog ini merupakan kumpulan artikel mengenai berita politik, tokoh politik, kasus politik dan isu politik yang berada di masyarakat Indonesia dari masa ke masa. Tujuan utama dari blog ini hanyalah sebagai rujukan bagi masyarakat umum untuk mencari data dan artikel yang sumbernya kredibel dari media massa elektronik yang telah terdokumentasikan di dalam blog ini. Pendokumentasian artikel politik ke dalam blog ini dimaksudkan agar data-data tersebut mudah di cari dan bisa diakses kapanpun & oleh siapapun yang membutuhkannya.

Salam,

Indo Politik

Term of Use

| 0 comments

Copy Paste = Perilaku Koruptif
apabila tujuannya hanyalah untuk kepentingan pribadi dengan cara mengindahkan dan merugikan hak orang lain.

Maka Tinggalkan komentar anda apabila hendak mengcopy intisari artikel dari Blog ini ataupun menggandakan artikel ini agar tidak merugikan penulis.

Jauhkan budaya Korupsi dalam bentuk sekecil apapun. Dan Hormati hak penulis dengan mencantumkan sumber rujukan dalam setiap penulisan artikel anda.

Salam,

Indo Politik

Jauhkan budaya korupsi
 
© Copyright 2011 Catatan Politik Indonesia All Rights Reserved.
Template by Herdiansyah Hamzah | Powered by Blogger.com.
Subscribe Catatan Politik Indonesia | [Valid Atom 1.0]